Bukan tanpa sebab jika kematian Tugce Albayrak, perempuan muda berusia 23 tahun, seorang calon guru Muslim, ditangisi ribuan masyarakat Jerman. Ia adalah teladan, pahlawan yang tak takut melawan ketidakadilan yang terjadi di depan matanya.
Albayrak barangkali tidak terjun ke medan perang, saat sebuah organisasi yang mengatasnamakan Islam di belahan bumi yang lain menyerukan untuk 'berjihad' dengan senjata. Tetapi saya yakin Muslimah berhati mulia ini wafat sebagai seorang syahidah. Di zaman di mana ketidakadilan dibiarkan dan kebencian dipuja-puji, saat orang-orang baik lebih banyak diam dan bungkam, Albayrak barangkali adalah martir yang sesungguhnya.
Dini hari pada 15 November 2014, di sebuah restoran cepat saji di kota Offenbach, sebuah kota kecil dekat Franfkrut, dua orang remaja perempuan tengah mendapatkan perlakuan kasar dan dilecehkan sekelompok pemuda ketika Albayrak bangkit untuk melawan. Nuraninya berontak melihat kekejian manusia terjadi di depan matanya.. Dan dia tidak tinggal diam. Setelah kelompok pemuda itu terusir, Albayrak berbicara pada dua remaja yang menjadi korban, lalu meminta mereka segera pulang mencari tempat yang aman.
Sayangnya, takdir baik tak selamanya milik orang-orang baik dan Tuhan kadang-kadang memanggil jiwa-jiwa suci untuk pulang lebih cepat ke pangkuannya. Di luar restoran, kelompok pemuda berandalan tadi menunggu Albayrak keluar... Dan ketika Albayrak melangkahkan kakinya meninggalkan pintu, seorang pemuda melayangkan tinju ke wajahnya. Perempuan muda itu limbung dan tersungkur sebelum kepalanya membentur lantai dan merenggut kesadarannya untuk selama-lamanya.
Beberapa hari setelah kejadian itu, kisah keberanian Albayrak menghentikan pelecehan yang dilakukan kelompok gangster, juga kematiannya yang tragis, segera menjadi teladan yang menyentakkan masyarakat Jerman. Islam seringkali menjadi identitas yang dicurigai di negara Eropa ini dan komunitas Muslim kadang-kadang diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua. Tetapi kali ini seorang Muslimah muda telah menyadarkan publik Jerman bahwa perbedaan identitas bukanlah alasan untuk tidak saling menjaga dan membela nilai-nilai kemanusiaan. Bahwa kebaikan tak mengenal sekat-sekat dan perbedaan harus dihargai selama keadilan dijunjung tinggi.
Pemakaman Albayrak di Bad Soden-Salmurnster, tempat di mana perempuan muda berhati mulia ini dilahirkan 23 tahun lalu, dihadiri ribuan pelayat. Dalam prosesi pemakaman yang digelar dengan cara Islam itu, masyarakat Jerman menangis pilu melepas kepergian seorang martir. Pada eulogi kematiannya, presiden Jerman, Joachim Gauck, menggambarkan sosok Albayrak sebagai 'teladan keberanian'.
Hari ini, Albayrak telah menjadi teladan bagi kita semua. Masyarakat Jerman berkeinginan agar pemerintahnya memberikan penghargaan 'Federal Order of Merit' bagi perempuan pemberani itu, tetapi tentu saja Albayrak tak membutuhkannya. Ia telah dicukupkan Tuhan atas kebaikan hati dan kematiannya yang mulia. Tinggal kita... Menengok hati nurani kita masing-masing dan bicara, apakah yang bisa kita lakukan untuk menegakkan nilai-nilai kebaikan? Apa yang sudah kita lakukan untuk melawan ketidakadilan dan kebencian? Apa yang akan kita bela dan lindungi dari kemanusiaan yang diinjak-injak, kejujuran yang dihancurkan?
Barangkali ini saatnya berbuat, mengubah kebusukan dunia dengan tindakan nyata. Bukan hanya mengutuk atau mendoakan, semacam selemah-lemahnya iman!
sumber : http://www.bbc.com/news/world-europe-30308853
Artikel keren lainnya: